TUGAS
MANAJEMEN PUBLIC RELATIONS
Resume Buku Manajemen Hubungan
Masyarakat
Pengarang: I Gusti Ngurah Putra
DISUSUN
OLEH :
Nama : Atik Putri S.
NIM : D1613008
HUBUNGAN MASYARAKAT B
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
Bab 1
Konsep Dasar Humas dan Manajemen Humas
A.
Definisi Humas
Menurut Wilcox, Ault & Agee (1995) menyarankan,
sejumlah kata dapat digunakan sebagai kunci pengingat definisi yang ada. Kata
kunci tersebut antara lain:
·
Deliberate.
Kegiatan humas pada dasarnya adalah kegiatan yang disengaja atau itentional. Ia
sengaja dilakukan untuk mempengaruhi, meningkatkan pemahaman, menyediakan
informasi dan memperoleh umpan balik.
·
Planned.
Kegiatan humas adalah kegiatan yang terorganisir rapi atau terencana. Jadi, ia
harus sistematis, dilakukan melalui analisis yang cermat dengan bantuan riset.
·
Perfomance.
Humas yang efektif harus didasarkan pada kebijakan dan penampilan yang
sesungguhnya.
·
Public Interest.
Alasan mendasar dari suatu kegiatan humas adalah untuk memenuhi kepentingan
publik, tidak semata-mata untuk membantu organisasi meningkatkan keuntungan
sebesar-besarnya.
·
Two Way Communication. Pada dasarnya kegiatan humas harus dikembalikan kepada makna kata
komunikasi yang sesungguhnya, yaitu sharing informasi.
·
Management Function. Humas tidak hanya menyebarkan release atau hanya sekadar mengurusi
protokoler perusahaan atau bahkan hanya sekadar penerima tamu.
B.
Fungsi-fungsi humas
·
Programming.
Fungsi ini antara lain mencakup analisis masalah dan peluang menentukan goals
dan publik serta merekomendasikan dan merencanakan kegiatan.
·
Relationship.
Seorang praktisi public relations yang berhasil harus mengembangkan
keterampilan dalam mengumpulkan informasi dari manajemen, sejawat dalam
organisasi dan dari sumber-sumber di luar organisasi.
·
Writting dan
Editing. Banyak ragam barang cetakan
yang digunakan dalam kegiatan humas seperti, laporan tahunan, booklets, media releases, news letter,
penerbitan ing-griya dan beberapa lainnya. Tulisan yang jelas dan masuk akal
sangat penting artinya bagi keefektifan kerja praktisi humas. Sebagian besar
pekerjaan humas berkaitan dengan penulisan dan penyuntingan.
·
Information.
Membangun sistem informasi yang baik merupakan salah satu cara menyebarkan
informasi secara efektif.
·
Production. Fungsi
ini berkaitan dengan kegiatan produksi media komunikasi yang digunakan dalam
menyebarkan pesan-pesan yang dirancang oleh praktisi humas.
·
Special Event.
Konferensi pers, pameran, ulang tahun perusahaan, pemberian penghargaan,
kunjungan perusahaan dan sebagainya merupakan kegiatan-kegiatan yang harus
ditangani oleh praktisi humas.
·
Speaking.
Keterampilan penting yang juga harus dimiliki oleh seorang praktisi public
relations adalah keterampilan berbicara baik untuk tatap muka individual maupun
untuk tatap muka kelompok. Menulis pidato adalah bagian dari tugas humas.
·
Research dan
Evaluation. Aktivitas penting yang
dilakukan seorang praktisi humas adlah pengumpulan fakta. Banyak cara yang
dapat dilakukan untuk itu. Bisa dilakukan secara formal maupun informal. Dapat
menggunakan berbagai tekhnik. Penelitian biasanya digunakan baik pada awal
maupun pada akhir sebuah program kehumasan.
C.
Pengertian
Manajemen Humas
Manajemen humas dapat dikatakan sebagai penerapan
fungsi-fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, penstaffan, pemimpin
dan evaluasi) dalam kegiatan-kegiatan kehumasan.
D.
Peran Manajer dan
Teknisi
Manajer melakukan perencanaan, memimpin, memilih staff,
mengatur jadwal, menyusun anggaran kegiatan kehumasan. Sedangkan para teknisi
melaksanakan seluruh kegiatan kehumasan.
Bab 2
Penelitian dan Perencanaan
A.
Arti Penting
Penelitian
Broom
dan Dozier (1990). Mereka menyebutkan adanya lima jenis pendekatan, yakni:
1.
Pendekatan tanpa
penelitian, yaitu organisasi tanpa menggunakan penelitian dalam menyusun progam-progam
kehumasannya.
2.
Pendekatan
informal, yakni orgnisasi hanya menggunakan penelitian secara informal,
misalnya melalui anekdot-anekdot untuk menyusun program kehumasan.
3.
Pendekatan
peristiwa media, yakni organisasi melakukan penelitian, namun hasil penelitian
semata-mata digunakan untuk memperoleh publisitas media.
4.
Pendekatan hanya
untuk evaluasi, yakni organisasi hanya melakukan penelitian untuk evaluasi
program.
5.
Pendekatan
manajemen ilmiah, yakni organisasi yang sudah menggunakan penelitian baik untuk
menentukan masalah yang berkembang, memantau pelaksanaan program maupun untuk
mengevaluasi program.
B.
Jenis Penelitian
yang Lazim
Beberapa metode penelitian yang bersifat informal
misalnya, kontak pribadi, riset dengan menggunakan informan kunci, focus group atau community forum, Dewan dan Komite Penasehat, Ombudsman, analisis surat, laporan dari lapangan (Cutlip, Center
& Broom, 1994). Sedangkan Wilcox, Ault & Agee (1995) menyebutkan antara
lain penelitian bahan-bahan dalam organisasi, penelitian perpustakaan, on-line databases, analisis isi,
wawancara, focus group dan pengetesan
naskah. Metode penelitian yang bersifat formal antara lain dapat berupa survei,
on-line databases dan analisis isi
(Cutlip, Center & Broom, 1994).
C.
Perencanaan
Menurut Wilcox, Ault & Agee (1995:182-183), praktisi
humas pada dasarnya akan menghadapi tiga jenis masalah kehumasan yang harus
ditangani.
·
Praktisi humas
harus mengatasi persoalan yang berkaitan dengan adanya persepsi negatif publik
terhadap sebuah organisasi atau sebuah produk. Biasanya persepsi yang demikian
ini berkembang pelan-pelan yang dalam jangka waktu tertentu akan mempengaruhi
penampilan perusahaan.
·
Praktisi humas
harus menyusun dan melaksanakan sebuah program kehumasan dalam posisi
perusahaan yang netral, artinya tidak ada persepsi negatif terhadap perusahaan.
Dalam hal ini tidak ada persepsi negatif yang berkembang.
·
Praktisi humas
harus mengembangkan program-program berkesinambungan dalam usaha untuk membangun dukungan secara
terus-menerus dari berbagai publik perusahaan.
D.
Penyusunan Anggaran
Humas
Menurut Cutlip, Center dan Broom (1994:371-372) anggaran
program kehumasan yang dijalankan sebuah perusahaan biasanya ditentukan
berdasarkan salah satu dari empat kemungkinan berikut:
1.
Anggaran
dialokasikan berdasar jumlah keseluruhan anggaran yang tersedia. Ini biasanya
dalam bentuk persentase dari seluruh anggaran operasional yang dikeluarkan
perusahaan.
2.
Anggaran disusun
berdasarkan keperluan untuk bersaing. Untuk itu perlu diketahui jumlah anggaran
yang dikeluarkan oleh perusahaan saingan. Jumlah anggaran untuk kegiatan humas,
jika menggunakan pertimbangan ini, melebihi atau sama dengan yang dikeluarkan
oleh saingan.
3.
Anggaran disusun
berdasarkan seluruh keperluan untuk kegiatan yang ada.
4.
Anggaran disusun
berdasarkan kemungkinan keuntungan yang diperoleh. Untuk pertimbangan terakhir,
praktisi humas umumnya akan menghadapi kesulitan karena menentukan tingkat
keuntungan yang diperoleh tidaklah gampang.
Anggaran kegiatan humas biasanya dipilah menjadi biaya
variabel dan biaya tetap (Cutlip, Center dan Broom, 1994) atau biaya
administratif dan biaya progam (Baskin, Aronoff & Lattimore, 1997). Yang
termasuk ke dalam biaya tidak tetap antara lain pengeluaran untuk projek
seperti produksi materi, biaya cetak, biaya penempatan iklan dan sebagainya.
Sedangkan biaya tetap meliputi gaji dan keuntungan tambahan, over head untuk kantor, biaya sewa
tempat, telepon, untuk langganan surat kabar atau media cetak lainnya dan
sebagainya.
Bab 3
Mengenali dan Menentukan Publik Sasaran
A.
Konsep Linkages Organisasi – Publik
Grunig dan Hunt (1984) mengutip Esman yang mengemukakan
empat tipe keterkaitan organisasi bagi keberlangsungan hidup sebuah organisasi.
Keempat jenis linkages tersebut
adalah:
1.
Enabling linkages,
yakni keterkaitan sebuah organisasi dengan organisasi-organisasi dan kelompok
sosial yang menyediakan kewenangan dan mengendalikan sumberdaya yang
memungkinkan organisasi untuk hidup.
2.
Functional linkages, yakni keterkaitan organisasi dengan organisasi atau publik yang
menyediakan masukan dan menggunakan keluaran organisasi, sehingga linkages ini
dibedakan menjadi input linkages dan output linkages.
3.
Normatif linkages,
yakni pertalian atau kaitan organisasi dengan orgnisasi-organisasi lain yang
menghadapi masalah yang sama atau memiliki nilai-nilai yang sama.
4.
Diffused linkages,
yakni sebuah linkages dengan
“unsur-unsur dalam sebuah masyarakat yang tidak dengan mudah diidentifikasi
melalui keanggotaan dalam organisasi formal”.
B.
Pendekatan Kelompok
Berkepentingan (Stakeholders)
Menurut Rhenald Kasali (1994:63) stakeholders adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun di
luar organisasi yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan perusahaan. Ia
juga mengatakan bahwa stakeholders
juga berarti ‘setiap orang yang mempertaruhkan hidupnya pada perusahaan’. Ada
juga yang melihat stakeholders sebagai
kelompok penekan (pressure group)
yang mesti diperhitungkan perusahaan.
Grunig & Repper (1992:126) menyatakan bahwa orang
terkategori sebagai stakeholder
karena mereka dipengaruhi oleh keputusan yang diambil oleh organisasi atau
keputusan-keputusan yang diambilnya dapat mempengaruhi organisasi.
C.
Dari Publik Laten
ke Publik Aktif
Berdasarkan pengertian yang diberikan John Dewey dan
Herbert Blunner, baik Grunig & Hunt maupun McElreath (1993) menyimpulkan
bahwa anggota sebuah publik biasanya punya tiga karakteristik mendasar, yaitu:
·
Mereka dihadapkan
pada masalah atau peluang yang sama.
·
Mereka mengakui
masalah itu dan bersedia untuk mendiskusikan masalah dan peluang-peluang itu.
·
Mereka ingin
mengorganisir diri untuk mengatasi masalah atau menggunakan peluang yang ada.
D.
Segmentasi Publik
Menurut Broom & Dozier (1992) ada sembilan pendekatan
untuk segmentasi publik yang biasanya harus digunakan dengan mengkombinasikan
satu sama lainnya sehingga diperoleh gambaran yang terinci tentang publik
sasaran program kehumasan. Kesembilan pendekatan segmentasi tersebut adalah
geografis, demografis, psikografis, covert
power, posisi, reputasi, keanggotaan, peranan dalam proses pengambilan
keputusan dan perilaku komunikasi publik.
Dengan cara geografis, publik dilihat berdasarkan lokasi
tempat tinggal mereka. Namun ini penting terutama dalam menentukan strategi
media dan alokasi program berdasarkan tingkat kepadatan penduduk. Dengan
pendekatan demografis, publik dilihat dari aspek-aspek jenis kelamin, umur,
pendapatan, pendidikan, status perkawinan, agama dan sebagainya. Ini biasanya
harus dikombinasikan dengan pendekatan lain seperti pendekatan psikografis yang
melihat publik berdasarkan faktor-faktor psikologis maupun gaya hidup mereka.
Dalam pendekatan covert power, publik
dilihat berdasarkan pengaruh yang mereka miliki terhadap kelompok lain.
Di samping itu, penting juga dilihat posisi publik, yakni
berkaitan dengan status profesi mereka seperti para analis pasar modal, dokter,
guru, ulama dan sebagainya. Mereka ingin berposisi untuk mempengaruhi orang
lain karena pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki. Dalam pendekatan
reputasi yang dilihat adalah survei dari sejumlah responden dengan menggunakan
metode sosiometri.
Bab 4
Tindakan dan Program Komunikasi
A. Arti Penting Tindakan
Menurut Cutlip, Center dan Broom (1994) peran hubungan
masyarakat kini tidak lagi sekadar membantu organisasi dalam melakukan ‘apa
yang harus dikatakan’ (berkomunikasi) kepada publik, tetapi juga harus membantu
organisasi dalam menentukan apa yang harus dilakukan. Ini sebenarnya berkaitan
dengan kenyataan bahwa masalah hubungan organisasi dengan berbagai publiknya
tidak saja disebabkan kesalahan dalam berkomunikasi atau mungkin kurangnya
komunikasi yang dilakukan oleh suatu organisasi dengan publiknya, tetapi juga
yang lebih penting disebabkan oleh kesalahan organisasi dalam bertindak,
membuat kebijakan tau berperilaku.
B. Komponen Tindakan dalam Strategi
Strategi tindakan yang diambil biasanya meliputi
perubahan atau perbaikan dalam kebijkan, prosedur, produk, layanan dan perilaku
organisasi. Perubahan ini dirancang untuk mencapai tujuan program (program objectives) dan sasaran
organisasi (organizational goals), di
samping tentunya pada saat yang sama sebagai respon terhadap kebutuhan dan
kesejahteraan publik (Cutlip, Center dan Broom, 1994:383).
C. Komponen Komunikasi dalam Strategi
ü Pengertian komunikasi
Komunikasi
diartikan sebagai sebuah proses pengalihan pesan dari seorang komunikator
kepada komunikan. Disini komunikasi dilihat sebagai sebagai sebuah proses
linear yang menggambarkan adanya proses pemindahan sesuatu yang konkret dari
suatu tempat ke tempat yang lain. pesan-esan dalam komunikasi dianggap sebagai
suatu yang konkret dan relatif bersifat tetap, sehingga ketika dipindahkan dari
benak seseorang ke benak orang lainnya akan tetap dalam jumlah yang sama.
ü Tujuan komunikasi
Tujuan
kegiatan komunikasi yang dilakukan dalam program kehumasan bisa dipilah menjadi
tujuan informasi, intruksi dan persuasi. Schramm (1971) membedakan tujuan
komunikasi menjadi tujuan informasional, tujuan instruksional, tujuan persuasi
dan tujuan menghibur.
D. Komponen-komponen Komunikasi
·
Sumber.
Sumber dalam komunikasi yang dilakukan humas memegang peranan penting untuk
pencapaian komuikasi yang efektif. Teori-teori yang ada menyatakan bahwa untuk
dapat mempengaruhi penerima, sumber yang ditampilkan harus memiliki
kredibilitas yang tinggi. Biasanya karakteristik sumber mempengaruhi penerimaan
pesan pada awal, tetapi tidak punya efek yang memadai dalam jangka panjang
(Cutlip, Center & Broom, 1994).
·
Pesan. Jika berbicara
variabel pesan dalam komunikasi, maka asa beberapa bagian dari variabel pesan
yang cukup penting untuk mendapat perhatian. Beberapa diantaranya adalah faktor
gaya pesan, imbauan pesan yang biasanya berupa imbauan rasional dan semosional,
pengulangan pesan, kesimpulan dalam pesan pengorganisasian pesan (McGuire,
1973:233-237) dan kejelasan pesan (Wilcox, Ault & Agee, 1995:270)
·
Media atau Saluran Komunikasi. Kini semakin bertambah banyak saluran komunikasi yang
dapat digunakan dalam program-program kehumasan. Teknologi komunikasi baru
bermunculan sebagai hasil usaha penyempurnaan secara terus-menerus teknologi
komunikasi yang sudah ada. Namun demikian, teknologi komunikasi lama masih
tetap harus diperhitungkan dalam menyusun bauran media (media mix) untuk program-program kehumasan.
·
Penerima.
Komponen lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah penerima atau publik sasaran
dari program kehumasan. Teori-teori awal tentang khalayak media massa
mengkonsepsikan khalayak sebagai kumpulan manusia yang pasif, yang sangat mudah
untuk dibujuk melalui pesan-pesan komunikasi massa.
E. Persuasi
Sebagian pekerjaan penting praktisi humas akan berkaitan
dengan komunikasi persuasif, yaitu suatu kegiatan komunikasi yang bertujuan
untuk membujuk penerima agar bersikap, berpendapat sesuai dengan keinginan
organisasi atau pandangan, sikap dan pendapat publik mendukung keberadaan
organisasi dengan segala produk, kebijakan dan prosedur yang dihasilkannya.
Bab 5
Mengevaluasi Program Hubungan
Masyarakat
A.
Mengapa Evaluasi?
Ketika melakukan evaluasi terhadap program kehumasan yang
akan, sedang dan telah dijalankan, manajer humas sedang mencoba memperlihatkan
nilai dari masing-masing kegiatan, sehingga pada akhirnya kegiatan tersebut
layak untuk dijalankan atau diteruskan. Perusahaan mau mendukung keberadaan
kegiatan tersebut dengan menyediakan fasilitas, sumberdaya manusia, keuangan
maupun dukungan lain yang diperlukan untuk terselenggaranya kegiatan tersebut. Evaluasi
terhadap program kehumasan yang dijalankan sebuah perusahaan menjadi penting
mengingat dua alasan, yaitu:
·
Dengan evaluasi
terhadap program, manajer humas sebuah perusahaan dapat mempertahankan
program-program kehumasan dan keberadaan bagian humas dalam perusahaan dengan
menunjukkan nilai program humas bagi perusahaan.
·
Adanya tuntutan
manajemen perusahaan terhadap setiap bagian dalam perusahaan agar setiap
pengeluaran sumberdaya perusahaan pada bidang apapun harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Walaupun demikian pentingnya evaluasi program kehumasan,
dan ini terungkap dalam berbagai forum dan penelitian, dalam praktek tidak
selalu praktisi yang menganggap evaluasi program humas sangat penting melakukan
evaluasi program kehumasan yang dijalankannya. Salah satu alasan yang cukup
menonjol adalah memang kemampuan untuk melakukan penelitian di kalangan
praktisi sangat terbatas. Umumnya praktisi humas terlatih sebagai teknisi
komunikasi. Seperti menulis release, memproduksi newsetter, mengadakan special
events dan sebagainya. (Quaries & Rowling, 1993).
B.
Jenis Evaluasi
Kendall (1992) memilah kategori evaluasi menjadi tujuh
kategori dasar sebagai patokan dalam melihat sukses atau keefektifan program
atau kampanye kehumasan. Kategori yang dikemukakan Kendall antara lain:
1.
Goal Achievement
Dalam
evaluasi ini yang diukur adalah sejauhmana tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam program atau kampanye kehumasan dapat tercapai. Inilah cara yang paling
baik untuk membuktikan atau menunjukkan keefektifan program humas secara
meyakinkan.
2.
Measurement of Improvement
Evaluasi ini untuk melihat perbaikan-perbaikan
yang sudah terjadi dalam sikap dan pengetahuan publik. Dari awal biasanya sudah
ditentukan situasi yang sudah ada sehingga kemudian dievaluasi apakah situasi
yang sudah ada mengalami perbaikan. Biasanya pada awal kampanye kehumasan ada
patokan yang sudah dibuat berdasarkan suatu hasil penelitian. Patokan ini
kemudian digunakan untuk melihat apakah ada perbaikan sebagai hasil program
kehumasan yang dijalankan.
3.
Measurement of Results
Hasil
dalam hal ini tidak mengimplikasikan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Hasil dalam hal ini lebih mengimplikasikan program-program komunikasi yang
sudah dilakukan seperti misalnya yang terlihat dari kliping surat kabar atau
catatan jumlah hadiran dalam suatu pameran. Jadi evaluasi ini lebih memfokuskan
pada apa yang sudah dibuat atau dihasilkan organisasi. Pengukuran hasil mungkin
juga mencakup lebih dari sekadar pembuatan kliping, seperti misalnya, perbaikan
dalam penjualan, atau jumlah orang yang hadir dalam acara open house yang diadakan oleh perusahaan (Kendall, 1992:32).
4.
Cost Efficiency
Evaluasi
ini bertujuan untuk mengukur sukses program humas atau kampanye kehumasan
dengan menghitung nilai uang yang dihasilkan program dihubungkan dengan
usaha-usaha atau jumlah uang yang dikeluarkan dalam kampanye kehumasan.
Berkaitan dengan ini ada juga cost-benefit
analysis, yakni suatu analisis dengan membandingkan nilai yang diperoleh
dengan sumberdaya yang dihabiskan untuk memperoleh nilai tersebut. Ini biasanya
digunakan untuk memperkuat suatu program, ketika ada berbagai alternatif
program yang tersedia.
5.
Organizational Change
Evaluasi
ini mencakup evaluasi terhadap organisasi sebagai hasil kampanye kehumasan.
Dalam berbagai kasus, usaha-usaha kampanye yang dilakukan sebuah perusahaan
untuk mempengaruhi publik tertentu sering sekali berpengaruh pada perubahan
dalam organisasi seperti meningkatnya semangat kerja karyawan dan sebagainya.
6.
Unplanned Results
Evaluasi
ini mencoba melihat hasil-hasil sampingan yang justru muncul sebagai akibat
adanya program atau kampanye kehumasan yang dijalankan organisasi. Hasil-hasil
sampingan ini mungkin tidak pernah direncanakan. Ini misalnya terlihat dari
semakin kompaknya karyawan dan munculnya semangat kerja sama dalam kelompok.
7.
Unarticulated Hopes
Evaluasi
ini berkaitan dengan kenyataan bahwa sering kali terjadi dalam perusahaan pihak
manajemen mempunyai harapan-harapan berlebihan terhadap tujuan program
kehumasan, namun harapan ini tak terartikulasi dengan baik. Untuk itu, dalam
merancang tujuan program, harus teridentifikasi dengan jelas seluruh harapan
yang dimiliki oleh pihak manajemen terhadap program kehumasan yang akan
dijalankan.
Di samping kategori evaluasi yang dikemukakan Kendall, ia
juga mengemukakan tiga jenis evaluasi lain, yakni:
1.
In-process Evaluation
Yaitu
evaluasi dengan melakukan pemantauan program saat program diimplementasikan.
Ini biasanya dilakukan melalui berbagai metode seperti melakukan pencatatan
kegiatan-kegiatan harian, pertemuan staff untuk memperoleh umpan balik dan
melakukan observasi, laporan perkembangan jadwal dan taklimat.
2.
Internal Evaluation
Yaitu
evaluasi setelah program dilaksanakan dengan menggunakan metode seperti yang
dipakai dalam in-process evaluation.
3.
External Evaluation
Yang
diukur adalah efek program atau kampanye kehumasan terhadap publik sasaran
dalam bentuk perilaku publik secara umum, liputan media dan sebagainya.
C.
Proses dan Tahap
Evaluasi
Grunig dan Hunt (1982) mengemukakan lima langkah tindakan
yang harus dilakukan dalam evaluasi. Kelima langkah itu adalah sebagai berikut:
1.
Specify Objectives.
Yakni membuat rumusan tujuan program yang spesifik dan dapat diukur. Karena ini
biasanya sudah dilakukan pada saat merumuskan tujuan, maka sebenarnya evaluasi
sudah mulai dilakukan pada saat suatu program sedang direncankan.
2.
Measures the Objectives. Yakni melakukan pengukuran efek yang sudah dicapai dari program yang
sudah dijalankan. Biasanya masing-masing objektif telah menspesifikasikan apa
efek yang ingin dicapai program kehumasan yang dijalankan.
3.
Collect and Analyze Data. Yakni melakukan pengumpulan data dan mengukur efek yang
dihasilkan sampel terpilih pada publik sasaran yang telah ditetapkan. Ini semua
kemudian dibandingkan dengan efek yang diharapkan pada masing-masing publik
sasaran. Dari sini kemudian akan dapat dilihat apakah program berhasil mencapai
tujuan yang ditetapkan atau belum.
4.
Report the Results to Decision Maker. Yakni menulis laporan tentang hasil program kepada
pengambil keputusan. Kepada eksekutif humas yang perlu dilaporkan adalah apakah
tujuan telah tercapai, sedangkan kepada eksekutif puncak di samping laporan
tadi perlu juga dilaporkan apakah pencapaian tujuan kehumasan membantu sasaran
dan tujuan yang ditetapkan perusahaan dan justifikasi akan program-program
kehumasan.
5.
Apply the Results to Decisions. Yakni setiap hasil program harus diterapkan pada
pengambilan keputusan. Hasil-hasil yang telah dicapai harus dapat memperbaiki
program-program untuk masa-masa selanjutnya. Dalam hal ini tak ada gunanya
melakukan evaluasi kalau tidak dipakai dalam pengambilan atau pembuatan
keputusan.
Dengan cara yang berbeda dan dalam beberapa hal lebih
kompleks, Cutlip Center dan Broom (1994) mengemukakan proses evaluasi yang
terdiri dari:
1.
Evaluasi
implementasi.
2.
Evaluasi
perkembangan.
3.
Evaluasi hasil.
Baik pada evaluasi hasil maupun evaluasi perkembangan
perlu dilihat faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi implementasi dan
perkembangan program. Untuk evaluasi implementasi, perlu dilakukan peninjauan
dan modifikasi prosedur-prosedur dan strategi-strategi untuk menentukan
sejauhmana program diimplementasikan sesuai dengan rencana. Langkah selanjutnya
adalah menilai sejauhmana program diimplementasikan sesuai rencana. Kalau
kemudian ada perbedaaan antara rencana dan pelaksanaan, maka perlu dijelaskan
atau diberi alasan. Di samping itu, perlu dilihat apa akibat adanya perbedaan
antara apa yang direncanakan dan yang dilaksanakan. Hasil ini kemudian harus
dilaporkan kepada pengambil keputusan, sehingga sangat mungkin terjadi perubahan
atau modifikasi program. Langkah yang hampir sama juga juga dilakukan dalam
evaluasi perkembangan program. Perlu dilakukan peninjauan dan modifikasi
prosedur dan strategi-strategi untuk penentuan sejauhmana pencapaian sasaran
dan tujuan program. dengan menggunakan prosedur ini, kemudian dapat dilakukan
penilaian sejauhmana pencapaian tujuan program dan penilaian konsekuensi-konsekuensi
yang tidak diharapkan. Langkah selanjutnya adalah menemukan alasan ketika ada
perbedaan antara tujuan yang telah dicapai dan tujuan yang telah ditetapkan dan
menemukan akibat adanya perbedaan antara tujuan yang dicapai dengan tujuan yang
telah ditetapkan. Ini semua kemudian dilaporkan kepada pengambil keputusan,
untuk digunakan dalam memodifikasi program, jika memang diperlukan.
Langkah yang sedikit berbeda dilakukan dalam melakukan
evaluasi hasil. Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan faktor-faktor kontekstual
yang mempengaruhi hasil akhir yang diharapkan dan hasil akhir yang tidak
diharapkan. kemudian perlu dilakukan peninjauan dan modifikasi
prosedur-prosedur, strategi-strategi dan rancangan evaluasi hasil yang biasanya
dimuat dalam rencana evaluasi. Setelah itu mengumpulkan data dan informasi
untuk evaluasi hasil dan kemudian menganalisis dan menginterpretasikan data dan
informasi tersebut. Langkah terakhir adalah melaporkannya kepada pengambil
keputusan.
D.
Pengukuran dalam
Evaluasi Masing-masing Tujuan
Jika menggunakan taksonomi yang digunakan Grunig dan Hunt
(1984) sebagai patokan dalam perumusan tujuan kehumasan, maka pengukuran
terhadap hasil yang telah dicapai atau pengukuran terhadap pencapaian tujuan
dapat menggunakan beberapa cara berikut sesuai dengan masing masing tujuan.
ü Komunikasi
Ketika
tujuan program kehumasan dirumuskan sebagai komunikasi, maka yang diukur adalah
jumlah pesan yang sudah dikirim dan sudah diterima publik. Ini bisa diukur
dengan antara lain melihat berapa banyak berbagai jenis komunikasi berlangsung
antara organisasi dan publik-publiknya.
ü Pengingatan pesan
Menurut
Grunig dan Hunt (1984) ada empat cara untuk mengukur apakah anggota publik
dapat menyimpan pesan. Keempat cara itu adalah Formula Keterbacaan, The Signaled Stopping Technique (SST), Multiple Choices Comprehension Question
dan Open-Ended Question.
ü Acceptance of
Cognitions
Tujuan
ini dapat diukur dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan
lanjutan pertanyaan dalam ‘retention of
message’. Untuk mengukur penerimaan dapat ditanyakan kepada responden
apakah mereka setuju terhadap posisi yang diambil perusahaan. Pertanyaan dapat
menggunakan pertanyaan evaluatif dengan skala Likert. Namun demikian, dalam ‘acceptance of cognition’ ini yang diukur
adalah kepercayaan responden.
ü Pembentukan dan perubahan sikap
Pertanyaan-pertanyaan
yang sama dapat juga digunakan untuk mengukur pembentukan dan perubahan sikap.
Namun demikian, jika ada ‘acceptance of
cognitions’ pengukuran diarahkan untuk mengetahui sejauh mana publik
percaya kebenaran pernyataan yang diajukan, maka pada pengukuran ini yang
diukur adalah sikap publik.
ü Perilaku yang tampak
Untuk
mengukur perilaku yang tampak dapat disusun pertanyaan-pertanyaan tentang apa
sesungguhnya yang dilakukan responden. Grunig dan Hunt (1984) lebih jauh
mengemukakan empat cara untuk memperoleh informasi tentang perilaku. Keempat
cara itu adalah:
a.
Pertanyaan tertutup
(Closed-end Questions).
b.
Pertanyaan terbuka
dan informal (Open-end or Informal
Question).
c.
Observasi formal
atau informal.
d.
Peghitungan perilaku
nyata (Actual counts of behaviour)
Bab 6
Manajemen Humas
Pada Saat Krisis
A.
Beberapa Pengertian
Umumnya, krisis dilihat sebagai suatu situasi atau
kejadian yang lebih banyak punya implikasi negatif pada organisasi daripada
sebaliknya. Krisis adalah sebuah situasi yang tak terduga, artinya organisasi
umumnya tidak dapat menduga bahwa akan muncul situasi yang dapat mengancam
keberadaannya. Sebagai ancaman, ia harus ditangani secara cepat agar organisasi
dapat berjalan normal kembali.
Webster (seperti dikutip Fink, 1986) mendefinisikan
krisis sebagai suatu titik baik untuk menuju keadaan lebih baik atau lebih
buruk (turning point for better or worse).
Jadi dari suatu situasi ini, mungkin perusahaan atau organisasi dapat menjadi
lebih baik atau menjadi lebih buruk.
Apakah sebuah krisis akan menjadikan organisasi menjadi
lebih baik atau lebih buruk sangat tergantung pada bagaimana pihak manajemen
mempersepsi dan kemudian merespon situasi tersebut atau sangat beruntung pada
pandangan, sikap dan tindakan yang diambil terhadap krisis tersebut (Hardjana,
1998:15). Jika manajer sebuah organisasi melihat lingkungan perusahaannya
potensial menghasilkan bencana, maka ia akan melihat pentingnya perencanaan
krisis sebagai bagian dari perencanaan strategis dan mengalokasikan sumberdaya
yang memadai untuk itu (Wisenblit, 1989:33). Walaupun sebuah krisis dapat
menjadi titik balik bagi semakin baiknya sebuah keadaan, tampaknya hampir tidak
ada pimpinan organisasi yang mengharapkan situasi demikian untuk memperbaiki
keadaaan. Atau paling tidak, organisasi tidak mengalami sebuah krisis. Karena
mereka berharap demikian, merekapun kemudian lupa bahwa krisis dapat saja
terjadi pada perusahaan mereka, sehingga banyak pengelola perusahaan yang tidak
menyadari pentingnya suatu perencanaan khusus untuk menghadapi dan menangani
krisis yang mungkin muncul.
B.
Berbagai Contoh
1.
Kecelakaan Bhopal
Pada
bulan Desember 1984, 40 ton gas beracun Methyl
Isocyanate bocor dari tank penyimpan bawah tanah pada pabrik pestisida
Union Carbide. Kebocoran ini menewaskan sekitar 3000 orang tak berdosa dan
mengakibatkan ratusan ribu orang terkena radiasi yang menyengsarakan. Sebagai
akibatnya, Union Carbide harus membayar ganti rugi antara 500 juta sampai 1
miliar dolar Amerika Serikat. Peristiwa ini juga berdampak pada jatuhnya
reputasi pemerintah India pada waktu itu. Pemerintah India dikritik karena
mengijinkan sebuah perusahaan kimia didirikan di sebuah lingkungan kumuh yang
padat penduduk. Di samping itu, pemerintah India juga menghabiskan seratus juta
dolar lebih untuk melakukan penyelamatan dan rehabilitasi para korban
(Shrivastava & Mitroff, 1987).
2.
Peristiwa Chernobyl
Pada
bulan April 1986 sebuah reaktor nuklir Uni Soviet meleleh menewaskan sekitar 30
orang, sementara ratusan ribu orang yang hidup di sekitar pabrik tersebut
terkena radiasi yang tak terperikan. Bahkan sejumlah radiasi yang merusak
tersebar ke lima belas negara tetangga Uni Soviet yang mengakibatkan kerusakan
pada tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan lingkungan alam. Biaya ekonomi dari
peristiwa ini diperkirakan mencapai miliaran dolar. Sampai saat ini dampak gas
ini pada kesehatan global belum lagi diketahui secara pasti (Shivasvata &
Mitroff, 1987).
3.
Kapsul Tylenol
Di
bulan Oktober 1982, lusinan kapsul Tylenol terkontaminasi dengan cyanida. Tujuh
orang yang meminum kapsul ini tewas segera setelah mereka minum. Ini
menciptakan semacam bencana nasional dan krisis internal bagi Johnson &
Johnson, perusahaan yang memproduksi kapsul ini. Ia segera menarik kembali obat
tersebut dengan biaya mencapai lebih dari 100 juta dolar.
4.
Kontes Promosi Keju
Kraft
Tak
ada yang meninggal, tak ada lingkungan yang rusak, tak ada yang luka dan tak
ada skandal yang terjadi, tetapi Hakim Kenneth Gills dari Pengadilan di
Illinois memutuskan bahwa sekitar 20.000 orang berhak atas ‘santunan’ akibat
kecerobohan keju Kraft dalam melakukan promosinya. Ini berawal dari sebuah
acara promosi penjualan berhadiah yang dilakukan oleh keju Kraft. Intinya
adalah para peserta kontes berhak atas hadiah yang merupakan pencocokan antara
apa yang dicetak di flier dengan apa
yang ada di kemasan keju yang dibeli. Rincian hadiah yang tersedia adalah:
hadiah utama uang tunai sebesar 17.000 dolar Amerika, sebuah mobil van merk
Dodge, 100 buah sepeda roadmaster,
500 skateboard dan 8.000 paket keju
Kraft.sehari setelah peluncuran program promosi ini, kantor perusahaan keju
Kraft di Glenview, Illionis dibanjiri telpon yang mengklaim hadiah sebuah mobil
van. Sampai akhir kontes, ada 20.000 klaim atas hadiah, lebih banyak dibanding
total hadiah yang dijanjikan yang sebanyak 8.600. Di antara itu, 10.000
mengajukan klain untuk hadiah sebuah mobil van merk Dodge. Kejadian ini
merupakan sebuah krisis yang dihadapi oleh keju Kraft. (Berg & Robb, 1992).
C.
Tahap-tahap Krisis
1.
Crisis Build Up
(Sturges dkk, 1991) atau Prodromal
Periods (Fink, 1986)
Pada
fase ini gejala atau tanda-tanda krisis mulai muncul. Jika gejala ini dikenali
dan kemudian dapat diatasi, maka akan terjadi ‘crisis abortion’ (Gonzales-Herrero & Pratt, 1995). Untuk
mengetahui gejala-gejala krisis, Gonzales-Herrero & Pratt (1995)
mengusulkan praktisi humas untuk:
·
Melakukan
pemantauan terhadap lingkungan untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan
yang berkembang yang mungkin mempengaruhi organisasi.
·
Mengumpulkan data
masalah yang potensial menimbulkan kesulitan bagi organisasi.
·
Mengembangkan
strategi komunikasi dan berkonsentrasi untuk mencegah munculnya krisis. Jika
perusahaan dapat mengatasi ini, maka besar kemungkinan tidak akan terjadi
krisis.
2.
Crisis Breakout
atau Acute Crisis
Yakni
telah terjadi kejadian yang menyebabkan perusahaan mulai mengalami kerugian.
Tahap ini dikatakan Fink sebagai tahap ‘the
point of no return’ atau tahap krisis aktual. Dalam tahap ini kerusakan
benar-benar sudah terjadi. Jika kemudian perusahaan tidak dapat mengatasinya,
kerusakan lanjutan hanyalah masalah waktu. Tahap inilah korban-korban mulai
terlihat. Bisa dalam bentuk kematian, kerusakan properti kerusakan lingkungan
dan sebagainya. Pada tahap inilah manajemen perusahaan menghadapi ujian yang
sangat berat. Penanganan pada tahap ini lebih sulit dibanding penanganan pada
fase sebelumnya. Pada awalnya, perusahaan mungkin mencoba menolak adanya
krisis, tetapi pada akhirnya organisasi harus menyadari dan mengakui bahwa pada
tahap ini krisis memang benar-benar terjadi.
3.
Abatement
(peredaan) atau Chonic Crisis Stage
Pada
tahap ini sering juga disebut sebagai tahap transisi atau ‘clean-up stage’. Organisasi berusaha untuk menangani atau berusaha
kembali dan melakukan perubahan-perubahan penting. Saat ini perusahaan mungkin
harus menyelesaikan masalah tuntutan berbagai pihak yang antara lain dapat
berbentuk pemberian kompensasi, ganti rugi dan masalah-masalah hukum lainnya.
Tahap ini dapat berlangsung sangat lama, lebih lama dibanding tahap krisis
sensungguhnya, karena untuk menentukan ganti rugi mungkin tidak begitu gampang.
Apalagi kalau melalui proses pengadilan. Belum lagi yang harus dilayani begitu
banyak pihak.
4.
Crisis Resolution Stage atau Termination Stage
Yaitu
ada tanda-tanda penyelesaian akhir yang menandakan bahwa krisis tidak lagi
merupakan ancaman bagi organisasi. Dalam hal ini, ibarat orang sakit,
perusahaan sudah mulai sembuh. Jadi krisis sudah mulai mereda. Namun demikian,
krisis masih mungkin muncul, bila tahap penyembuhan tidak dibarengi dengan
kehati-hatian. Pada tahap ini, perusahaan harus melanjutkan perhatian pada
berbagai publiknya, melanjutkan pemantauan terhadap masalah sampai intensitas
masalah yang muncul berkurang, melanjutkan informasi kepada media terutama
tentang berbagai tindakan yang dilakukan perusahaan, mengevaluasi rencana
penanganan krisis, jika memang ada, menjadikan umpan balik yang ada sebagai
masukan untuk perencanaan krisis di masa mendatang dan mengembangkan strategi
komunikasi jangka panjang untuk mengurangi kerusakan yang disebabkan oleh
krisis yang terjadi.
D.
Jenis Krisis
·
Sel 1, adalah
krisis yang disebabkan adanya kegagalan teknis ekonomi di dalam organisasi.
Kegagalan teknologi, misalnya adalah kasus Bhopal di India dan Three Mile
Island. Ini disebabkan rusaknya rancangan pabrik dan peralatan perusahaan.
·
Sel 2, adalah
krisis yang disebabkan faktor teknis-ekonomis yang terjadi di luar perusahaan.
Perusakan lingkungan, bencana alam, pengambilalihan yang kasar, krisis sosial seperti di Indonesia,
krisis tukar mata uang merupakan beberapa contoh yang menonjol.
·
Sel 3, adalah
krisis yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial manusia dan manajemen yang
bersumber di dalam perusahaan. Termasuk dalam krisis ini adalah krisis karena
kegagalan untuk beradaptasi terhadap lingkungan, sabotase oleh karyawan,
pemogokan buruh, kerusakan produk, kegiatan-kegiatan ilegal dan adanya penyakit
karena pekerjaan. Krisis ini terjadi karena kegagalan dalam proses sosial dan
sistem organisasi. Ini umumnya terjadi karena kesalahan pelaku manajemen,
sabotase oleh psikopat dan kegagalan dalam pengambilan keputusan
·
Sel 4, adalah
krisis yang terjadi karena faktor-faktor sosial di luar lingkungan sosial. Ini
terjadi karena aktor-aktor di luar organisasi bereaksi secara negatif terhadap
perusahaan. Kecelakaan karena sabotase, off-site
product tampering merupakan beberapa contoh jenis ini. Penculikan
eksekutif, pemalsuan produk juga dapat menjadi sumber krisis bagi sebuah
perusahaan.
Menurut Coombs (1994) dengan menggunakan dua dimensi
sebagai kriteria: itentional-unintentional dan internal-external menghasilkan
empat jenis krisis, yakni:
1.
Fax Paus adalah krisis yang terjadi karena adanya tindakan
sengaja yang dilakukan oleh aktor di luar perusahaan untuk mencoba menciptakan
krisis pada perusahaan tersebut. Ini biasanya terjadi ketika kelompok-kelompok
aktivis menuduh organisasi telah melakukan praktek-praktek yang tidak fair sehingga perusahaan dianggap tidak bertanggungjawab
secara sosial.
2.
Accidents adalah sebuah krisis yang terjadi karena tindakan yang
tidak disengaja yang biasanya terjadi dalam keadaan organisasi berjalan normal.
Kerusakan produk, luka dan bencana alam merupakan beberapa contoh yang menonjol
dari krisis ini. Karena dimensi ketidaksengajaan dan berada di luar kontrol
organisasi, krisis jenis ini biasanya dapat meminimalkan tanggungjawab
organisasi. Sebuah kecelakaan adalah kejadian yang tak dapat dikontrol dan
bersifat tidak stabil. Untuk jenis krisis seperti ini organisasi dapat
menggunakan strategi excuse.
3.
Transgression adalah krisis yang disebabkan tindakan sengaja yang
dilakukan organisasi, sehingga publik yang menjadi korban. Misalnya, perusahaan
dengan sengaja menjual barang yang cacat atau membahayakan (kadaluarsa),
melanggar hukum seperti terjadi pada bank-bank yang melanggar batas pemberian
kredit maksimum kepada perusahaan yang masih ada dalam satu kelompok. Jenis
krisis ini terjadi karena faktor internal dan organisasi dapat mengontrolnya
karena ada unsur kesengajaan. Untuk itu, organisasi harus bertanggungjawab
terhadap akibat yang ditimbulkan krisis jenis ini. Menurut Coombs (1994:8), mortification strategy adalah strategi
yang paling tepat karena strategi ini tidak menolak taggungjawab, tetapi dengan
strategi ini perusahaan berusaha untuk bertanggungjawab dengan berbagai cara
seperti memberi santunan, meminta maaf dan berusaha untuk tidak melakukan hal
yang sama di kemudian hari.
4.
Terorisme adalah tindakan sengaja yang dilakukan orang luar
perusahaan untuk menciptakan krisis dalam suatu perusahaan. Misalya kasus
penculikan terhadap eksekutif perusahaan, pembajakan sebuah pesawat, pemboman
gedung perkantoran dan sebagainya. Tindakan seperti ini dapat merusak secara
langsung karyawan, konsumen dan publik lainnya dan secara tidak langsung
mengurangi volume penjualan barang dan merusak produk perusahaan.
E.
Respon Terhadap
Krisis
Respon dan cara pengelolaan krisis oleh suatu organisasi
mencerminkan bagaimana organisasi tersebut memperlihatkan tanggung jawab
atas perbuatannya dan menunjukkan
kewajiban terhadap pada stakeholdernya.
Dengan demikian, setiap pembicaraan krisis mau tidak mau berbicara juga tentang
manajemen sebuah organisasi. Sedangkan praktek manajemen, terutama yang
berhubungan dengan kebiasaan tanggung jawab dalam masyarakat, sedikit banyak
dipengaruhi faktor-faktor budaya dalam suatu masyarakat. Bagaimana sebuah
organisasi mengelola krisisnya pada akhirnya menjadi bagian penting dari
cerminan budaya tanggung jawab dalam sebuah masyarakat.
F.
Komunikasi Krisis
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, komunikasi
perusahaan menghadapi krisis (karena itu humas menjadi penting) atau pada saat
terjadi suatu krisis menjadi sangat penting (Fearn-Banks, 1996; Haggart, 1994;
Schramm, 1971a). Hal ini antara lain disebabkan bahwa krisis antara lain
dicirikan oleh adanya ketidakpastian (uncertainty),
konflik kepentingan (conflict of interest),
kompleksitas dan keterlibatan emosional (Stubbart, 1987:89).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar