TUGAS
KEWIRAUSAHAAN
ARTIKEL FRANCHISING (WARALABA)
HUBUNGAN MASYARAKAT B 2013
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014
A.
Sejarah Franchising (Waralaba)
Waralaba diperkenalkan pertama
kali pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika
ingin meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya
tersebut gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis
waralaba ini di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang
lebih sukses, John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain,
yang mengikuti Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri
otomotif AS General Industry Motor ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah
sistem telegraf yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta
api, tetapi dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar
pabrikan mobil dengan dealer. Waralaba saat
ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji.
Kecenderungan ini dimulai pada
tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restauran cepat sajinya. Pada tahun
1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk
memonopoli usaha restauran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan
mereka untuk mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan
bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran.
Dalam perkembangannya, sistem
bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an yang
kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format)
atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua. Perkembangan sistem
waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya,AS , menyebabkan
waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang usaha, mencapai
35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS. Sedangkan di Inggris, berkembangnya waralaba
dirintis oleh J.Lyons melalui
usahanya Wimpy and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak
mengenal diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi
calon mitra usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan
SARA.
B. Defenisi
Waralaba (Franchising)
Waralaba atau Franchising
(dari bahasa Prancis untuk kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk
menjual suatu produk atau jasa maupun layanan. Menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud
dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau
pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa.
Sedangkan menurut Asosiasi
Franchise Indonesia ialah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada
pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada
individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem,
prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu
tertentu meliputi area tertentu.
Dalam sistem franchise ini paling sedikit ada dua pihak yang terlibat,
yaitu:
- Franchisor, yaitu pihak yang menjual atau meminjamkan hak dagangnya, atau merk dagangnya serta sebuah sistem bisnis untuk menjalankan bisnis tersebut.
- Franchisee, yaitu pihak yang membayar royalti dan biaya lainnnya yang dipersyaratkan oleh franchisor untuk dapat menggunakan merk dagangnya serta sistem bisnis yang dirancang oleh franchisor.
Secara
teknis, kontrak kerja antara franchisor dan franchisee inilah yang disebut
franchise, tetapi kini lebih sering dianalogikan sebagai cara dari franchisee
dalam menjalankan bisnisnya. Dalam metode
bisnis franchise, franchisor mempersiapkan rencana lengkap tentang bagaimana
cara mengatur dan menjalankan bisnis bagi franchisee.
ü Franchise
fee
Merupakan
biaya yang dibayarkan oleh penerima waralaba (franchisee) kepada pemberi waralaba
(franchisor) untuk membiayai pos pengeluaran/belanja iklan dari franchisor yang
disebarluaskan secara nasional/international. Besarnya Franchise fee biasanya
3% dari penjualan. Tidak semua franchisor mengenakan Franchise fee kepada
franchiseenya. Alasan dari adanya Franchise fee adalah kenyataan bahwa tujuan
dari jaringan waralaba adalah membentuk satu skala ekonomi yang demikian besar
sehingga biaya-biaya per outletnya menjadi sedemikian effisiennya untuk
bersaing dengan usaha sejenis. Mengingat Franchise fee merupakan pos
pengeluaran yang dirasakan manfaatnya oleh semua jaringan, maka setiap anggota
jaringan (franchisee) diminta untuk memberikan kontribusi dalam bentuk
Franchise fee.
ü Royalty fee
(Biaya royalti)
Adalah satu
set jumlah uang yang pemilik waralaba bisnis harus membayar untuk menjadi
bagian dari sistem waralaba. Biasanya, biaya dihitung sebagai persentase dari
penjualan kotor atau bersih dan dibayar mingguan, bulanan atau kuartalan.
Menutupi biaya hak penggunaan merek waralaba dan uang biasanya digunakan untuk
membantu pemilik waralaba (atau perusahaan induk waralaba) offset dukungan
administrasi dan fungsi.
C.
Keuntungan Franchising (Waralaba)
- Menawarkan keuntungan (profit) besar.
- Calon pebisnis waralaba diberikan pelatihan berusaha.
- Karyawan, bahan baku, alat- alat standart yang dibutuhkan dalam bisnis waralaba disediakan secara gratis oleh freencisor.
- Usaha yang di jalankan cepat berkembang. Karena dengan semakin banyak perusahaan yang menggunakan franchise berarti usaha yang dijalankan akan cepat dikenal masyarakat, masyarakat juga dengan mudah memperoleh produk yang di inginkan dengan standart kualitas dan penyajian yang sama.
- Biaya promosi murah.
D. Contoh Franchising (Waralaba)
Pernah dengar Rumah
Makan Ayam Bakar Wong Solo? atau Anda malah sudah pernah mencicipi menunya?
Rumah makan ini terkenal dengan ayam bakarnya. Setiap jam makan tiba, rumah
makan ini dipenuhi pengunjung. Jumlah gerai rumah makan ini pun tidak kalah
dengan waralaba makanan cepat saji asing. Hingga kini ada 27 gerai Ayam Bakar
Wong Solo yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dengan
pencapaian hebat bagi usaha yang dirintis dengan modal hanya Rp 700 ribu.
Puspo Wardoyo, 47,
merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga menjadi sebesar sekarang ini dari
titik paling bawah. Ia pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak kecil
Puspo sudah terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi
hari, Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai
malam, pria penggemar warna merah ini membantu orangtuanya menjajakan menu siap
saji seperti ayam goreng, ayam bakar, garang asem ayam, dan menu ayam lainnya
di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo. Pekerjaan ini dilakoninya
sampai tamat kuliah.
Lulus kuliah, Puspo
meninggalkan bisnis unggas ini. Ia menjadi guru di daerah Muntilan. Awalnya ia
merasa bangga dengan profesi ini. "Gajinya tetap. Saya bisa membeli
apa-apa yang saya inginkan waktu itu. Plus, dihormati oleh murid-murid
merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya," papar Puspo yang ditemui
Bintang di salah satu gerainya di daerah Kalimalang, Jakarta. Namun
lama-kelamaan hatinya merasa tidak sreg. Alasannya, ia merasa kurang berbakat
menjadi guru. Puspo juga merasakan profesi guru tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari keluarganya. Ia lantas berhenti dan kembali lagi ke kota
asalnya. Ia kemudian membuka warung makan. Tentu saja dengan ayam sebagai menu
andalannya.
Berprofesi sebagai
penjaja makanan, pria beristri 4 -- bukan salah ketik, istri Puspo memang 4
orang, sering mendatangkan cibiran orang sekelilingnya. Tapi ia cuek dan terus
menekuni usahanya. Suatu waktu, temannya yang berjualan bakso di Medan pulang
ke Solo, sang sahabat menyarankan agar ia pindah berjualan ke Medan. Prospek
bisnis rumah makan di kota itu sangat baik, kata sang teman. Ia tertarik dengan
ajakan kawannya itu. Untuk mendapatkan modal, ia kembali menjadi guru, kali ini
SMU di daerah Bagan Siapi-api, Riau. Warung makan miliknya ia tinggalkan.
Puspo mempercayakan
pengelolaan warungnya pada seorang kerabat. Selama 2 tahun mengajar, 1989-1991,
terkumpul uang sekitar Rp 2.400.000. Dengan uang itu ia membeli motor dan sewa
rumah kontrakan. Sisanya sekitar Rp 700.000 dipergunakan untuk modal jualan
ayam bakar. Kenapa mesti ayam bakar lagi? "Tiga hari sebelum meninggal
ayah berpesan agar saya berjualan ayam bakar. 'Insya Allah sukses'," kata
pria berkacamata ini menirukan ucapan mendiang ayahnya. Puspo lantas membuka
warung kaki lima di daerah Polonia, Medan. Sukses tidak datang begitu saja.
"Kadang-kadang sehari cuma laku beberapa potong," ingatnya. Melihat
pertanda tidak bagus, sang istri Rini Purwanti, yang kala itu bekerja sebagai
dosen Politeknik USU, memintanya berhenti berjualan ayam bakar. "Mertua saya
bahkan menyuruh saya bertobat berdagang dan menjadi guru kembali,"
tegasnya lagi. Tapi dengan kesabaran dan ketaqwaan Puspo, maju terus.
Usahanya tidak
sia-sia. Pelan tapi pasti usahanya berkembang. Pegawainya pun bertambah. Suatu
saat pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo
membantunya dengan cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang
pegawai membawa wartawan sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan
sahabat suami pegawai yang ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya. Judul
artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Artikel itu membawa rezeki bagi
Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak orang berbondong-bondong
mendatangi warungnya. "Seratus potong ayam ludes per hari. Keesokan
harinya meningkat menjadi 200 potong ayam per hari. Omset saya waktu itu
mencapai 350 ribu per hari," sebut pria berbadan besar ini. Hari ke hari
usahanya makin sukses. Ia pun kemudian mendirikan tempat yang lebih
representatif dan mulai melebarkan sayapnya ke berbagai daerah.
Kemampuan meracik
dan meramu masakan didapatnya sewaktu bekerja membantu ayahnya berdagang.
"Saya memiliki naluri memasak sejak kecil dan tumbuh di lingkungan yang
memiliki usaha rumah makan. Bermodalkan naluri itu saya merancang sendiri
menu-menunya dan bukan belajar dari buku, juru masak, atau orang lain,"
papar bapak 10 anak ini. Bahasa kerennya, ia belajar masak secara otodidak.
Kemampuannya ini terus diasahnya sampai sekarang. Hasilnya di Rumah Makan Ayam
Bakar Wong Solo sekarang telah ada 50 menu. Sebagian besar modifikasi dari
masakan-masakan yang telah ia ciptakan sebelumnya.
Sekarang ini menu
yang dihidangkan bukan sekadar ayam. Ada ikan, sayur mayur, dan jus. Ada
catatan khusus untuk jenis yang disebut terakhir ini. Nama yang diberikan Puspo
untuk hasil karyanya ini unik. Ada jus Poligami dan Jus Dimadu. "Jus
poligami berisi gabungan buah-buahan berserat yang dicampur menjadi satu.
Sedangkan Jus Dimadu kombinasi buah Markisa dengan buah Torung -- buah khas
Medan. Rasanya, semanis madu," sebut Puspo yang pernah dua kali menyabet
penghargaan Enterprise 50 versi Accenture dari majalah Swa dan HIPMI ini. Ia
punya alasan sendiri untuk menggunakan nama ini. "Saya sedang
mengampanyekan poligami itu tidak seburuk anggapan orang," cetus penerima
penghargaan Waralaba Unggulan Tahun 2003 dari Presiden Megawati ini.
Bagi Puspo bekerja
tidak hanya sekadar mencari nafkah saja. Lebih dari itu, bekerja sarana
beribadah dan beramal. Tidak heran jika nuansa Islami sangat mengental di rumah
makan yang dikelolanya. Semua karyawatinya mengenakan jilbab. "Sebelum
masuk dan sebelum pulang, karyawan mendapatkan kultum -- kuliah tujuh menit,
mengenai Islam. Tujuannya agar akhlak mereka menjadi terus baik,"
terangnya. Puspo kini tengah mencoba menambah gerainya. Ia berniat masuk ke
mal-mal dan supermarket. Tidak puas Puspo berniat mengglobalkan Ayam Bakar Wong
Solo. "Kami sedang mengusahakan mendirikan gerai di Malaysia, Brunei,
bahkan di Belanda," katanya. Tapi namanya masih tetap Wong Solo kan, bukan
Wong Londo?
SUMBER
1.
http://yaniarathar.blogspot.com/2012/12/pengertian-waralaba-dan-contohnya.html
2.
http://rahayusimanungkalit.blogspot.com/2010/11/bisnis-waralaba-franchising-di.html
3.
http://rahmaanurull.wordpress.com/2013/04/19/pengertian-franchising-franchisor-franchisee-franchise-fee-dan-royalty-fee-biaya-royalti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar