FOPPERHAM
Forum
Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia
adalah
sebuah organisasi LSM swasta yang
bergerak dibidang perlindungan Hak Asasi Manusia perempuan-perempuan korban
1965 (G-30S/PKI). Terletak di Jl Veteran Pandeyan, Gg Janur Kuning No 8
Yogyakarta. Visi Misi LSM yaitu membantu para korban 1965 untuk mendapatkan Hak
Asasi Manusia dan hanya berfokus pada perempuan korban 1965. Kegiatan FOPPERHAM
berupa penelitian yang berupa dokumentasi, digunakan untuk mengetahui atau
menguak beberapa kisah dari perempuan-perempuan korban 1965 yang isinya berupa
harapan-harapan yang diinginkan perempuan korban 1965.
Salah
satu anggota fopperham mengungkapkan perihal motivasinya menjadi anggota
Fopperham “Membantu dan memperjuangkan hak perempuan korban 1965 untuk mendapatkan hak asasinya”, ujar Nirwani
anggota Fopperham.
Di
dalam kegiatan penelitian para anggota Fopperham saling bekerja sama demi
tercapainya visi misi LSM “Banyak pengalaman yang saya dapatkan, salah satunya
yaitu mengenal banyak orang dan dapat mendengarkan cerita dari
perempuan-perempuan korban 1965”, tambah Nirwani.
Hasil
dari dokumentasi kemudian akan diterbitkan dalam bentuk buku yang akan dijual
untuk masyarakat umum. “Dengan begitu kami ingin memberitahukan kepada
masyarakat luas bahwa para perempuan korban 1965 berhak mendapatkan haknya
sebagai Warga Negara Indonesia”, jelas Nirwani.
Organisasi
LSM ini juga mengadakan pelatihan manajemen usaha dengan tema
“Pengembangan Ekonomi bagi Perempuan Korban Konflik yang Menjadi Korban Gempa”.
Kegiatan yang diadakan di Yogyakarta tersebut berlangsung selama 10 hari dan
dihadiri oleh perempuan-perempuan korban 1965 dari seluruh Yogyakarta. “Pelatihan
yang digelar adalah wujud perhatian terhadap perempuan-perempuan untuk mengembangkan
usaha ekonominya”, tandas Rofikul Hidayat Direktur Fopperham.
Bencana
gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi
pada 27 Mei 2006 tahun lalu mengakibatkan terpuruknya roda perekonomian
masyarakat Yogyakarta terutama perempuan-perempuan koban 1965. Banyaknya
rumah perempuan-perempuan korban 1965
yang rusak parah memunculkan ide dari kawan-kawan Fopperham untuk mengadakan
pelatihan tersebut. “Selain rumah, alat produksi ekonomi yang rusak juga
menjadi masalah,” tambah Rofikul Hidayat.
Setelah kegiatan pelatihan manajemen usaha ini, Fopperham akan berusaha mengupayakan peminjaman modal untuk perempuan-perempuan yang
telah mengikuti pelatihan tersebut.
Agar para perempuan-perempuan korban 1965 dapat memulai usaha dengan pinjaman
modal yang telah disediakan. Tak lepas tanggung jawab
begitu saja, Fopperham juga melakukan pendampingan serta konsultasi bisnis bagi
perempuan-perempuan korban 1965. “Nantinya
perlu dibuat semacam asosisasi yang diharapkan dapat mempermudah proses
pinjaman untuk pengembangan usaha”,
jelas Rofikul Hidayat.
Perempuan Tangguh Korban 1965 (G-30S/PKI)
Dalam perjalanannya Fopperham banyak menemukan
perempuan-perempuan tangguh yang bertahan dari siksaan-siksaan saat terjadinya
G-30S/PKI. Seperti diketahui G-30S/PKI adalah sebuah
peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang
kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Beberapa perempuan tangguh yang ditemui
Fopperham yaitu Ibu Cristina Sumarmiyati pada saat itu beliau disiksa dan
ditahan sampai plantungan kurang lebih selama 14 tahun, beliau sempat diperkosa
dan dibakar rambut kemaluannya karena memberontak saat di intrograsi.
Selanjutnya ada Ibu Endang beliau juga disiksa
dan ditahan di plantungan selama kurang lebih 12 tahun, beliau mendapat siksaan
berupa kekerasan fisik dan hinaan.
Pada era modern saat ini kehidupan
perempuan-perempuan korban 1965 tersebut sudah membaik, namun dulu saat mereka baru
dibebaskan sangat memprihatinkan. Banyak diantara mereka yang kehilangan
rumahnya karena disita, ada juga yang kehilangan anggota keluarganya yang
sampai saat ini masih belum ditemukan. Bahkan perempuan-perempuan korban 1965
tersebut banyak yang dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Kebanyakan dari perempuan-perempuan korban
1965 sudah janda, sebab suaminya meninggal akibat sakit yang diderita saat
ditahan. Suami dari perempuan-perempuan korban 1965 juga mendapat siksaan fisik
dan juga ditahan selama rata-rata 10 tahunan. Mereka saat ini bekerja sebagai buruh dan ada juga yang
berdagang di pasar serta ada juga yang menjadi petani. Sekarang mereka sudah
memiliki anak dan cucu, mereka hidup sederhana dan bisa dibilang cukup. Mereka
memiliki perkumpulan perempuan-perempuan korban 1965 yang diberi nama kiper /
kiprah dimana anggotanya adalah perempuan-perempuan korban 1965 se Yogyakarta
yang rata-rata berumur 70 tahun ke atas.
“Saat ini saya mendata perempuan-perempuan
korban 1965 yang belum terdata oleh pemerintah untuk mendapatkan jaminan
kesehatan yang saat ini disebut BPJS”, urai Nirwani. Dengan adanya program ini
diharapkan perempuan-perempuan korban 1965 juga dapat menikmati program yang
telah diselenggarakan oleh pemerintah.
Awal bulan April 2015 kemarin Fopperham
mengadakan audiensi dengan Ibu GKR Hemas istri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X.
Dalam audiensi tersebut Ibu GKR Hemas bertemu langsung dengan
perempuan-perempuan korban 1965 dan saling bercerita.
Ibu GKR Hemas sangat mengapresiasi akan cerita
perempuan-perempuan korban dan akan mengusahakan yang terbaik untuk
perempuan-perempuan 1965 tersebut dan untuk waktu dekat Ibu GKR Hemas juga akan
mengundang kembali perempuan-perempuan korban 1965 untuk beraudiensi lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar