Kamis, 23 Juni 2016

FOPPERHAM


FOPPERHAM
Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia
adalah sebuah organisasi LSM swasta  yang bergerak dibidang perlindungan Hak Asasi Manusia perempuan-perempuan korban 1965 (G-30S/PKI). Terletak di Jl Veteran Pandeyan, Gg Janur Kuning No 8 Yogyakarta. Visi Misi LSM yaitu membantu para korban 1965 untuk mendapatkan Hak Asasi Manusia dan hanya berfokus pada perempuan korban 1965. Kegiatan FOPPERHAM berupa penelitian yang berupa dokumentasi, digunakan untuk mengetahui atau menguak beberapa kisah dari perempuan-perempuan korban 1965 yang isinya berupa harapan-harapan yang diinginkan perempuan korban 1965.
Salah satu anggota fopperham mengungkapkan perihal motivasinya menjadi anggota Fopperham “Membantu dan memperjuangkan hak perempuan korban 1965  untuk mendapatkan hak asasinya”, ujar Nirwani anggota Fopperham.
Di dalam kegiatan penelitian para anggota Fopperham saling bekerja sama demi tercapainya visi misi LSM “Banyak pengalaman yang saya dapatkan, salah satunya yaitu mengenal banyak orang dan dapat mendengarkan cerita dari perempuan-perempuan korban 1965”, tambah Nirwani.
Hasil dari dokumentasi kemudian akan diterbitkan dalam bentuk buku yang akan dijual untuk masyarakat umum. “Dengan begitu kami ingin memberitahukan kepada masyarakat luas bahwa para perempuan korban 1965 berhak mendapatkan haknya sebagai Warga Negara Indonesia”, jelas Nirwani.
Organisasi LSM ini juga mengadakan pelatihan manajemen usaha dengan tema  “Pengembangan Ekonomi bagi Perempuan Korban Konflik yang Menjadi Korban Gempa”. Kegiatan yang diadakan di Yogyakarta tersebut berlangsung selama 10 hari dan dihadiri oleh perempuan-perempuan korban 1965 dari seluruh Yogyakarta. “Pelatihan yang digelar adalah wujud perhatian terhadap perempuan-perempuan untuk mengembangkan usaha ekonominya”, tandas Rofikul Hidayat Direktur Fopperham.
Bencana gempa bumi di Yogyakarta  yang terjadi pada 27 Mei 2006 tahun lalu mengakibatkan terpuruknya roda perekonomian masyarakat Yogyakarta terutama  perempuan-perempuan koban 1965. Banyaknya rumah perempuan-perempuan  korban 1965 yang rusak parah memunculkan ide dari kawan-kawan Fopperham untuk mengadakan pelatihan tersebut. “Selain rumah, alat produksi ekonomi yang rusak juga menjadi masalah,” tambah Rofikul Hidayat.
Setelah kegiatan pelatihan manajemen usaha ini, Fopperham akan berusaha mengupayakan peminjaman modal untuk perempuan-perempuan yang telah mengikuti pelatihan tersebut. Agar para perempuan-perempuan korban 1965 dapat memulai usaha dengan pinjaman modal yang telah disediakan. Tak lepas tanggung jawab begitu saja, Fopperham juga melakukan pendampingan serta konsultasi bisnis bagi perempuan-perempuan korban 1965. “Nantinya perlu dibuat semacam asosisasi  yang diharapkan dapat mempermudah proses pinjaman untuk pengembangan usaha”, jelas Rofikul Hidayat.
Perempuan Tangguh Korban 1965 (G-30S/PKI)
Dalam perjalanannya Fopperham banyak menemukan perempuan-perempuan tangguh yang bertahan dari siksaan-siksaan saat terjadinya G-30S/PKI. Seperti diketahui G-30S/PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Beberapa perempuan tangguh yang ditemui Fopperham yaitu Ibu Cristina Sumarmiyati pada saat itu beliau disiksa dan ditahan sampai plantungan kurang lebih selama 14 tahun, beliau sempat diperkosa dan dibakar rambut kemaluannya karena memberontak saat di intrograsi.
Selanjutnya ada Ibu Endang beliau juga disiksa dan ditahan di plantungan selama kurang lebih 12 tahun, beliau mendapat siksaan berupa kekerasan fisik dan hinaan.
Pada era modern saat ini kehidupan perempuan-perempuan korban 1965 tersebut sudah membaik, namun dulu saat mereka baru dibebaskan sangat memprihatinkan. Banyak diantara mereka yang kehilangan rumahnya karena disita, ada juga yang kehilangan anggota keluarganya yang sampai saat ini masih belum ditemukan. Bahkan perempuan-perempuan korban 1965 tersebut banyak yang dikucilkan oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya.
Kebanyakan dari perempuan-perempuan korban 1965 sudah janda, sebab suaminya meninggal akibat sakit yang diderita saat ditahan. Suami dari perempuan-perempuan korban 1965 juga mendapat siksaan fisik dan juga ditahan selama rata-rata 10 tahunan. Mereka saat  ini bekerja sebagai buruh dan ada juga yang berdagang di pasar serta ada juga yang menjadi petani. Sekarang mereka sudah memiliki anak dan cucu, mereka hidup sederhana dan bisa dibilang cukup. Mereka memiliki perkumpulan perempuan-perempuan korban 1965 yang diberi nama kiper / kiprah dimana anggotanya adalah perempuan-perempuan korban 1965 se Yogyakarta yang rata-rata berumur 70 tahun ke atas.
“Saat ini saya mendata perempuan-perempuan korban 1965 yang belum terdata oleh pemerintah untuk mendapatkan jaminan kesehatan yang saat ini disebut BPJS”, urai Nirwani. Dengan adanya program ini diharapkan perempuan-perempuan korban 1965 juga dapat menikmati program yang telah diselenggarakan oleh pemerintah.
Awal bulan April 2015 kemarin Fopperham mengadakan audiensi dengan Ibu GKR Hemas istri dari Sri Sultan Hamengkubuwana X. Dalam audiensi tersebut Ibu GKR Hemas bertemu langsung dengan perempuan-perempuan korban 1965 dan saling bercerita.
Ibu GKR Hemas sangat mengapresiasi akan cerita perempuan-perempuan korban dan akan mengusahakan yang terbaik untuk perempuan-perempuan 1965 tersebut dan untuk waktu dekat Ibu GKR Hemas juga akan mengundang kembali perempuan-perempuan korban 1965 untuk beraudiensi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar